Sinopsis Novel Azab dan Sengsara
Sinopsis Novel
Azab dan Sengsara
Judul : Azab dan Sengsara
Penulis : Merari Siregar
Penerbit :
Balai Pustaka
Tahun terbit :
1936
Tebal : xviii + 188 halaman
Azab dan Sengsara menceritakan tentang kisah cinta antara Aminuddin
dan Mariamin. Novel ini diawali dengan tradisi Martandang, yaitu kunjungan
pemuda ke rumah pemudi, baik sebagai teman biasa maupun telah menjadi kekasih.
Hal ini termasuk adat pergaulan pemuda-pemudi yang berlaku dibatak Angkola. Aminuddin
menemui Mariamin di rumahnya untuk berpamitan. Ia akan bekerja di Medan demi
mewujudkan cita-citanya menikahi kekasihnya, Mariamin.
Aminuddin dan Mariamin berteman sejak mereka masih kecil. Namun
kehidupan mereka amat berbeda. Ayah Aminuddin, Baginda Diatas, seorang kepala
desa yang kaya dan terhormat. Masyarakat Sipirok pada segan dan hormat
kepadanya. Sementara Marimain, hidup dalam kemelaratan bersama dengan ibunya
dan adiknya. Ayahnya, Sutan Baringin, telah meninggal dunia.
Dahulu, sebenarnya keluarga Mariamin kaya. Namun semasa hidupnya,
Sutan Baringin terkenal boros dan serakah. Ia sering mencari perkara dengan
orang lain mengenai harta. Sikapnya yang demikian merupakan akibat dari pola
asuh di keluarganya. Saat kecil, orang tua Sutan Baringin begitu memanjakannya.
Semua yang diinginkan oleh Sutan Baringin selalu dipenuhi. Akibat keslahan
dalam pola asuh dari orang tua Sutan Baringin, Mariamin beserta ibunya harus
menanggung azab dan sengsara.
Meski begitu, Aminuddin tak pernah mempermasalahkan kemiskinan
keluarga Mariamin. Pertemanan yang dijalin sejak kecil itu, menumbuhkan
perasaan cinta dalam diri Aminuddin dan Mariamin. Maka ketika Aminuddin akan
pergi bekerja ke Medan, ia mengutarakan niatnya untuk menikahi Mariamin di
Medan. Ibunda Mariamin tidak keberatan dengan niat Aminuddin, apalagi ia merasa
berhutang nyawa dengan keponakannya itu.
Saat Mariamin terjatuh ke sungai, ketika hendak pulang dari
bepergian dengan Aminuddin. Aminuddin menyelamatkan Mariamin. Peristiwa itu
membuat ibunda Aminuddin menyetujui niat anaknya untuk menikahi Mariamin,
karena Mariamin masih keponakannya. Dan pernikahan tersebut dapat membantu
kehidupan anak dari kakaknya tersebut. Namun, Bagnda Diatas memiliki pendapat
yang berbeda dengan istrinya. Pernikahan Aminuddin dengan Mariamin akan
merendahkan derajat serta martabat keluarganya. Menurutnya, putranya lebih
pantas menikahi wanita dari keluarga kaya dan terhormat.
Agar tidak menyakiti hati istrinya, Baginda Diatas mengajak
istrinya menemuhi seorang dukun untuk mengetahui nasib anaknya jika menikah
dengan Mariamin. Pada masa itu,
masyarakat masih menggantungkan nasibnya pada seorang dukun. Segala
hal ditanyakan pada dukun. Tradisi itulah yang dimanfaatkan oleh Baginda Diatas
untuk mengelabui istrinya. Setelah kedatangan mereka ke rumah dukun itu, meski
kesal karena maksudnya tak sampai, ibunda Aminuddin mempercayai perkataan dukun
itu. Ia kemudian menyutujui rencana suaminya yang hendak menjodohkan Aminuddin
dengan gadis lain. Bisa dikatakan, kepercayaan kepada dukun ini menjadi salah
satu sebab penderitaan yang harus dialami Aminuddin dan terutama Mariamain.
Tanpa sepengetahuan Aminuddin, Baginda Diatas, meminang seorang
gadis yang berasal dari keluarga bangsawan kaya. Melalui surat, Aminuddin
diberi tahu bahwa calon istrinya akan segera dibawa ke Medan. Tentu saja
Aminuddin gembira. Sudah lama ia membayangkan akan menikah dengan Mariamin.
Namun ketika Aminuddin menjemput di stasiun, ternyata bukan Mariamin yang
datang bersama ayahnya, melainkan seorang gadis lain yang bermarga Siregar.
Dalam masyarakat Batak Angkola yang menganut sistem, seorang ayah memiliki
otoritas yang besar dalam menentukan calon pendamping bagi anaknya.
Sikap Baginda Diatas yang menghalangi pernikahan Aminuddin dengan
Mariamin itu, sesungguhnya bertentangan dengan adat yang berlaku dalam
masyarakat Batak Angkola. Sebab hubungan Aminuddin dengan Mariamin bukanlah
hubungan cinta berahi, dan bukan pula hubungan semarga yang memang tidak
dibolehkan dalam masyarakat Batak Angkola. Akan tetapi, hubungan mereka
didasari oleh kedekatan keluarga. Ayah Mariamin adalah kakak dari ibunda
Aminuddin, tetapi marga mereka berbeda. Marga Aminuddin mengikut pada ayahnya
Baginda Diatas, sedang Mariamin mengikuti marga Sutan Baringin. Dalam adat
masyarakat Batak Angkola, Aminuddin memanggil Mariamin Boru Tulang (anak
perempuan dari saudara laki-laki pihak ibu). Sedangkan Mariamin memanggil
Aminddin Anak Namboru (anak laki-laki dari saudara perempuan ayah).
Jika mengacu pada adat yang berlaku, orang tua Aminuddin tidak
boleh menggagalkan hubungan anaknya dengan Mariamin. Bahkan harus menikahkan
keduanya. Pernikahan semacam ini disebut perkawinan Manyonduti (kembali ke
pangkal keluarga). Tujuannya agar ikatan dalam keluarga bertambah kuat. Namun,
karena persoalan material, Baginda Diatas tidak mengindahkan adat tersebut. Ia
malah memilih gadis kaya dari keluarga Siregar.
Meski kecewa, Aminuddin tidak dapat menolak keinginan ayahnya. Ia mematuhi ayahnya bukan karena tidak setia kepada Mariamin. Jika ia menolak menikahi gadis tersebut, keluarganya akan mendapat malu. Belum pernah terjadi dalam adat mereka, seorang gadis yang telah dijemput dikembalikan kepada keluarganya. Dengan keterpaksaan, Aminuddin menikah dengan gadis pilihan ayahnya. Setelah pernikahan itu, Aminuddin meminta kedua orang tuanya membawakan nasi bungkus kepada ibu Mariamin sebagai permohonan maaf. Saat itulah ayah Aminuddin melihat perilaku Mariamin yang serba baik dan wajah rupawannya yang jarang ditemukan pada gadis-gadis lain. Mereka pun menyesal. Namun, nasi telah menjadi bubur.
Setelah mendengar pernikahan Aminuddin, Mariamin sangat terpukul
hingga ia jatuh sakit. Ia merasa begitu kecewa. Saat Aminuddin pergi ke Medan,
banyak pemuda yang melamar dirinya, tetapi ia selalu menolaknya. Namun, kesetiaannya
harus dibayar dengan kekecewaan. Tidak lama selepas pernikahan Aminuddin,
Mariamin menikah dengan Kasibuhan, lelaki pilihan ibunya. Mariamin tidak dapat
menolak permintaan ibunya untuk menikah, dengan lelaki yang bekerja sebagai
kerani(pegawai yang mengurusi administrasi) di Medan. Pernikahan paksa yang
dialami Mariamin dengan Kasibuan bersumber pada persoalan materi. Ibunya
berharap pada pernikahan tersebut akan mengurangi penderitaan anaknya.
Setelah menikah, Kasibuan membawa Mariamin ke Medan. Ternyata
pernikahan mereka tidak seperti yang diharapkan oleh ibu Mariamin, Kasibuan
menderita penyakit kelamin yang dapat menular. Oleh sebab itu, Mariamin selalu
menolak ketika Kasibuan mengajakna berhubungan intim. Mariamin meminta Kasibuan
untuk menyembuhkan dahulu penyakitnya.
Saat mengetahui Mariamin tinggal di Medan, Aminuddin datang
mengunjunginya. Ketika itu Kasibuan sedang tidak di rumah. Kedatangan Aminuddin
itu ternyata sampai ke telinga Kasibuan. Mariamin berusaha menjelaskan bahwa
kedatangan Aminuddin tak lain hanya untuk meminta maaf. Namun, Kasibuan
terlanjur dibakar cemburu. Terjadilah pertengkaran. Kasibuan menganiaya
Mariamin.Karena tak kuat menanggung siksa dari suaminya, Mariamin melaporkan
tindakan suaminya ke polisi. Kasibuan pun ditangkap. Ia harus membayar denda
dan memutuskan tali pernikahan dengan Mariamin. Setelah bercerai dengan
suaminya, Maiamin kembali ke Sipirok membawa rasa malu. Perasaan malu tersebut
yang membuat dirinya tertekan dan pada akhirnya meninggal dunia dengan membawa
semua penderitaannya.
Komentar
Posting Komentar