GERAKAN TRANSFORMASI KI HAJAR DEWANTARA DALAM PERKEMBANGAN PENDIDIKAN SEBELUM DAN SESUDAH KEMERDEKAAN

Nama : Zuhaida Imarotul Ulya

NIM   : 24402400809

Prodi  : Bahasa Indonesia

T1.2. TUGAS EKSPLORASI KONSEP ANALISIS REFLEKTIF KRITIS-FILOSOFI PENDIDIKAN INDONESIA


ARGUMEN KRITIS

GERAKAN TRANSFORMASI KI HAJAR DEWANTARA DALAM PERKEMBANGAN PENDIDIKAN SEBELUM DAN SESUDAH KEMERDEKAAN

Ki Hajar Dewantara merupakan tokoh yang berpengaruh dalam perkembangan pendidikan di Indonesia. Tokoh yang terkenal dengan sistem amongnya ini berhasil merubah wajah pendidikan ala kolonial menjadi pendidikan yang memerdekakan murid, menumbuhkan peserta didik sesuai kodrat, dan pendidikan yang tetap menjaga identitas dan budaya nasional.

Pada awalnya, pemerintah Belanda, termasuk VOC, melihat Indonesia sebagai objek perdagangan dan tidak memberikan perhatian besar pada pendidikan. Selama pemerintahan Napoleon Bonaparte dan pembentukan kembali pemerintah Belanda (tahun 1816), belum ada peraturan yang signifikan tentang pendidikan di Indonesia. Baru pada tahun 1854, dalam Reglement voor het Inlands onderwijs, pemerintah Hindia Belanda mulai memberikan perhatian terbatas pada pendidikan penduduk pribumi. Meskipun ada upaya untuk mendirikan sekolah-sekolah pendidikan dasar untuk penduduk pribumi, tujuannya tetap untuk mendidik calon-calon pegawai negeri dan pembantu perusahaan Belanda. Sekolah ini memberikan pelajaran dasar membaca, menulis, dan berhitung, terutama kepada orang-orang pembantu yang mendukung usaha dagang. Pemerintah Hindia Belanda memberikan kesempatan kepada calon dokter Jawa untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran.

Pendidikan yang diadakan oleh pemerintah Belanda pada zaman Etik dan awal abad ke-20 memiliki pengaruh besar pada segala usaha pendidikan di Indonesia. Sistem pendidikan pada masa itu dapat digambarkan sebagai "kolonial lunak" yang cenderung intelektualistis, individualistis, dan materialistis. Ini tidak mencerminkan cita-cita kebudayaan. Pendidikan seharusnya menjadi wadah untuk memelihara dan mengembangkan benih-benih kebudayaan, namun pada kenyataannya, sekolah-sekolah yang ada tetap terpengaruh oleh paradigma intelektualisme, individualisme, materialisme, dan kolonialisme. Meskipun ada upaya seperti yang dilakukan Raden Ajeng Kartini dan Dokter Wahidin Sudirohusodo yang mencerminkan semangat nasionalisme dan kebudayaan, organisasi teknik pendidikan dan pengajaran tetap tidak mengalami perubahan yang signifikan. Upaya memasukkan unsur-unsur kebudayaan ke dalam sekolah-sekolah yang berupaya menjadi perguruan kebangsaan atau keagamaan tidak mampu menghilangkan pengaruh jiwa kolonial secara menyeluruh.

Pada tahun 1920, muncul cita-cita baru yang menginginkan perubahan radikal dalam pendidikan dan pengajaran di Indonesia. Cita-cita ini merupakan gabungan dari kesadaran kultural dan kebangkitan politik. Tujuan utamanya adalah mencapai kemerdekaan nasional dan kebebasan budaya bangsa. Sistem pendidikan dan pengajaran yang mencerminkan cita-cita tersebut diwujudkan oleh "Taman Siswa" di Yogyakarta pada tahun 1922. Gerakan Taman Siswa mencerminkan semangat yang sudah ada dalam masyarakat Indonesia, dan perguruan Tamansiswa didirikan di berbagai wilayah Indonesia, seperti Jawa, Sumatera, Borneo, Sulawesi, Sunda Kecil, dan Maluku. Sekolah-sekolah yang berdasarkan agama (Islam, Kristen, Katolik) juga ikut berperan dalam gerakan ini, selama mereka berdiri sebagai sekolah swasta yang tidak menerima subsidi dari pemerintah Hindia Belanda. Mereka juga memasukkan semangat revolusioner dalam pendidikan mereka. Gerakan pendidikan ini berjalan sejalan dengan gerakan politik, sehingga banyak bekas murid yang terlibat dalam gerakan kemerdekaan dan pembangunan nasional.

Semangat Ki Hajar Dewantara dalam membngun Pendidikan di Indoesia hendaknya dimiiki oleh setiap guru saat ini. Mendidik bukan sekedar mengajar, menuntun bukan menuntut, dan tidak lupa dengn identitas bangsa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

T1.1. TUGAS REFLEKSI MULAI DARI DIRI FILOSOFI PENDIDIKAN INDONESIA

APA SIH PEMBELAJARAN BERDIFERENSIASI ITU?

POROS BUDAYA DALAM ERA GLOBALISASI